Sejarah dan Fungsi Bahasa Indonesia Skip to main content

Big Ad

Featured Post

Insurance Deductible Options

Insurance Deductible Options - Importance Of Understanding Deductible Options Having a sound understanding of deductible options is an essential part of managing personal or business finances. Deductibles are the amount of money you pay out of pocket before insurance coverage starts. It's important to understand how deductibles work and the various options available to you. By choosing the right deductible option, you can manage your finances more effectively and ensure that you're not overpaying for insurance coverage. Furthermore, understanding deductible options can help you make informed decisions about healthcare services, business expenses, and other financial matters. In summary, having a good grasp of deductible options is a fundamental step in achieving financial stability and security. Types Of Deductibles A deductible is a type of expense that an individual or business must pay before receiving in

Sejarah dan Fungsi Bahasa Indonesia

Pendahuluan

Mengapa bahasa Indonesia harus dipelajari di semua jurusan atau program studi di seluruh fakultas di perguruan tinggi, padahal bahasa Indonesia sudah dipelajari sejak di sekolah dasar bahkan di taman kanak-kanak? Alasannya, tidak lain karena Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, Pasal 37 Ayat 2 mewajibkan perguruan tinggi menyelanggarakan mata kuliah bahasa Indonesia. Landasan pemikiran undang-undang tersebut, pertama adalah satu dari tiga butir Sumpah Pemuda 1928 menyatakan “kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia; kedua adalah Undang[1]Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36 yang menyatakan bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Hal itu dapat diartikan bahwa bahasa Indonesia memiliki dua kedudukan penting, yakni sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara.

Sejarah dan Fungsi Bahasa Indonesia

Selain adanya kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara yang menyebabkan bahasa Indonesia secara formal harus dipelajari, ada hal lain yang sama petingnya, yaitu (i) mahasiswa sebagai insan akademis harus mampu dan memiliki rasa bangga, tanggung jawab yang tinggi dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar secara kontekstual dan (ii) mahasiswa harus mampu menuangkan ide, gagasan, dan pikirannya secara lisan dan tertulis dengan menggunakan unsur-unsur kebahasaan dan aturan yang benar. Kedua kemampuan tersebut merupakan indikator yang menunjukkan adanya sikap positif mahasiswa terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara.

Dalam bab ini, disajikan pembahasan tentang (i) bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional; (ii) bahasa Indonesia sebagai bahasa negara; (iii) variasi pemakaian bahasa; (iv) perkembangan bahasa; dan (v) sikap dan kesadaran berbahasa. Setelah mengikuti penyajian pokok bahasan tersebut, mahasiswa diharapkan dapat,

(1.) memiliki pengetahuan tentang fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia dengan tepat;

(2.) memiliki rasa bangga dan tanggung jawab yang tinggi terhadap penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai konteks;

(3.) mampu menuangkan ide, gagasan, dan pikirannya secara lisan dan tertulis dengan menggunakan unsur-unsur kebahasaan dan aturan yang benar dengan terampil, teliti, dan cermat

 

Sejarah Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam kerapatan Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).

Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.

Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna. Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.

Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.

Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke[1]16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin. Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.

Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.

Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Parapemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928). Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.

 

Peran Penting Sumpah Pemuda

Tanggal 28 Oktober 2019 diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda yang ke-91. Ada makna yang mendalam bagi sejarah bangsa ini dalam isi Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada 28 Oktober 1928 itu, yakni ikrar bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu: Indonesia. Sumpah Pemuda tercetus dalam Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Namun dua tahun sebelumnya, seperti diungkap Sudiyo lewat buku Perhimpunan Indonesia sampai dengan Lahirnya Sumpah Pemuda (1989), telah dilakukan Kongres Pemuda I mulai tanggal 30 April hingga 2 Mei 1926 di Batavia (Jakarta).

Sejarah dan Fungsi Bahasa Indonesia

Kongres Pemuda I atau Kerapatan Besar Pemuda dihadiri oleh perwakilan dari perhimpunan pemuda/pemudi termasuk Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Studerenden Minahasaers, Jong Bataks Bond, Pemuda Kaum Theosofi, dan masih banyak lagi. Tujuan Kongres Pemuda I, seperti dikutip dari buku Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda (1996) karya Mardanas Safwan, antara lain mencari jalan membina perkumpulan pemuda yang tunggal, yaitu dengan membentuk sebuah badan sentral dengan maksud: Pertama, untuk memajukan persatuan dan kebangsaan Indonesia, serta yang kedua adalah demi menguatkan hubungan antara sesama perkumpulan pemuda kebangsaan di tanah air. Namun, Kongres Pemuda I diakhiri tanpa hasil yang memuaskan bagi semua pihak lantaran masih adanya perbedaan pandangan. Setelah itu, digelar lagi beberapa pertemuan demi menemukan kesatuan pemikiran. Maka, disepakati bahwa Kongres Pemuda II akan segera dilaksanakan.

Lahirnya Sumpah Pemuda Kongres Pemuda II dilangsungkan selama dua hari pada 27 dan 28 Oktober 1928 di Batavia. Hari pertama, kongres menempati Gedung Katholikee Jongelingen Bond atau Gedung Pemuda Katolik, sedangkan kongres di hari kedua diadakan di Gedung Oost Java (sekarang di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat). Tujuan Kongres Pemuda II antara lain: (1) Melahirkan cita cita semua perkumpulan pemuda pemuda Indonesia, (2) Membicarakan beberapa masalah pergerakan pemuda Indonesia; serta (3) Memperkuat kesadaran kebangsaan dan memperteguh persatuan Indonesia. Kongres ini diikuti oleh lebih banyak peserta dari kongres pertama, termasuk Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, Pemuda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon, Katholikee Jongelingen Bond, Pemuda Kaum Betawi, Sekar Rukun dan lainnya. Hadir pula beberapa orang perwakilan dari pemuda peranakan kaumTionghoa di Indonesia dalam Kongres Pemuda II ini, seperti Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie, namun asal organisasi/perhimpunan mereka belum diketahui.

Gedung yang nantinya menjadi tempat dibacakannya Sumpah Pemuda merupakan rumah pondokan atau asrama pelajar/mahasiswa milik seorang keturunan Tionghoa bernama Sie Kok Liong. Gedung yang terletak di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat, ini kini diabadikan sebagai Museum Sumpah Pemuda. Adapun susunan panitia Kongres Pemuda II, seperti yang dituliskan Ahmad Syafii Maarif melalui buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2009) adalah sebagai berikut:

Ketua                   : Sugondo Djojopuspito (PPPI)

Wakil Ketua         : R.M. Joko Marsaid (Jong Java)

Sekertaris             : Muhammad Yamin (Jong Sumatranen Bond)

Bendahara            : Amir Sjarifudin (Jong Bataks Bond)

Pembantu I           : Johan Mohammad Cai (Jong Islamaieten Bond)

Pembantu II          : R. Katjasoengkana (Pemuda Indonesia)

Pembantu III         : R.C.I. Sendoek (Jong Celebes)

Pembantu IV         : Johannes Leimena (Jong Ambon)

Pembantu V           : Mohammad Rochjani Su’ud (Pemuda Kaum Betawi)

Hadir pula Wage Rudolf Supratman yang memainkan lagu Indonesia Raya di Kongres Pemuda II dengan alunan biolanya. Lagu Indonesia Raya juga dinyanyikan untuk pertamakalinya dalam kongres ini oleh Dolly Salim yang tidak lain adalah putri dari Haji Agus Salim.

Setelah melalui prosesi panjang selama 2 hari, maka pada 28 Oktober 1928, para peserta Kongres Pemuda II bersepakat merumuskan tiga janji yang kemudian disebut sebagai Sumpah Pemuda. Adapun isi Sumpah Pemuda adalah sebagai berikut: Pertama Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kedua Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ketiga Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Menurut Azyumardi Azra, seperti dikutip oleh Asvi Warman Adam dalam buku Menguak Misteri Sejarah (2010), Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda merupakan salah satu tonggak sejarah bangsa Indonesia dalam mengawali kesadaran kebangsaan. Sementara dalam buku Literasi Politik (2019) yang ditulis Gun Gun Heryanto dan kawan-kawan diungkapkan bahwa ikrar sebagai satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa merupakan ikrar yang sangat monumental bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Ikrar ini atau Sumpah Pemuda yang dibacakan di arena Kongres Pemuda II dan dihadiri oleh kaum muda lintas suku, agama, dan daerah, nantinya, 17 tahun kemudian, melahirkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945. Hal penting lain atas terjadinya Sumpah Pemuda adalah sebagai titik balik kesadaran berbangsa dan bernegara, ketika seluruh rakyat mengakui satu bahasa Indonesia di tengah banyaknya bahasa derah di negeri ini.

 

Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Nasional

Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki tiga fungsi:

(1) lambang kebanggaan nasional,

(2) lambang identitas nasional,

(3) alat perhubungan antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya, dan

(4) alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial dan bahasanya masing-masing.

Fungsi pertama mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebanggaan. Berdasarkan kebanggaan inilah, bahasa Indonesia harus dipelihara dan dibanggakan. Rasa bangga memakai bahasa Indonesia dalam berbagai bidang harus selalu dibina dan ditingkatkan.

Fungsi kedua mengindikasikan bahwa bahasa Indonesia, sebagaimana hanya lambang lain, yaitu Bendera Merah Putih dan Burung Garuda. Maka harus diakui menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, bahasa Indonesia dapat menunjukkan atau menghadirkan identitasnya hanya apabila masyarakat bahasa Indonesia membina dan mengembangkannya sesuai dengan keahlian dalam bidang masing-masing.

Fungsi ketiga memberikan kewenangan untuk berkomunikasi dengan siapapun memakai bahasa Indonesia apabila komunikator dan komunikan mengerti. Melalui fungsi ketiga ini, diharapkan dapat memahami berbagai budaya yang ada di daerah-daerah lain.

Fungsi keempat mengajak untuk bersyukur kepada Tuhan karena telah memiliki bahasa nasional yang berasal dari salah bahasa yang ada di Nusantara (bahasa Melayu) sehingga dapat bersatu dalam kebesaran Indonesia.

 

Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Negara

Bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa negara memiliki empat fungsi yang saling mengisi dengan ketiga fungsi bahasa nasional. Keempat fungsi bahasa negara tersebut adalah sebgai berikut:

(1) bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan,

(2) bahasa Indonesia sebagai bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di dalam dunia kependidikan, (3) bahasa Indonesia sebagai alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, dan

(4) bahasa Indonesia sebagai alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

 

Variasi Pemakian Bahasa

Variasi bahasa yang terjadi karena pemakaian bahasa disebut ragam bahasa. Ragam bahasa dapat dibedakan berdasarkan media pengantarnya dan berdasarkan situasi pemakaiannya. Berdasarkan media pengantar, ragam bahasa dapat dibedakan lagi atas dua macam, yaitu ragam lisan dan ragam tulis. Berdasarkan situasi pemakaiannya, ragam bahasa dapat dibagi lagi atas tiga macam, yaitu ragam formal, ragam semiformal, dan ragam nonformal.

Dalam praktik pemakaian, para penutur bahasa tentulah dapat merasakan perbedaan antara ragam lisan dan ragam tulis. Perbedaan tersebut dapat dirinci sebagai berikut.

(1) Ragam lisan menghendaki adanya lawan bicara, sedangkan ragam tulis tidak selalu memerlukan lawan bicara yang siap membaca apa yang dituliskan oleh seseorang.

(2) Unsur-unsur fungsi gramatikal seperti subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan di dalam ragam lisan tidak selalu dinyatakan dengan kata-kata. Unsur-unsur itu sering dinyatakan dengan bantuan intonasi suara, gerak tubuh, dan mimik muka. Di dalam ragam tulis, fungsi-fungsi gramatikal harus dinyatakan secara eksplisit agar orang yang membaca suatu tulisan, misalnya dalam surat kabar, majalah, atau buku dapat memahami maksud penulisnya.

(3) Ragam lisan terikat pada situasi, kondisi, ruang, dan waktu, sedangkan ragam tulis tidak terikat pada situasi, kondisi, ruang, dan waktu.

Perbedaan di atas tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa ragam lisan lebih unggul daripada ragam tulis atau sebaliknya, tetapi hanya mengingatkan bahwa ada perbedaan mendasar di antara ragam lisan dan ragam tulis. Kedua ragam tersebut tersebut sebaiknya dikuasi secara berimbang oleh mereka yang ingin memanfaatkan bahasa sebagai alat komunikasi secara maksimal.

 

Perkembangan Bahasa

Bahasa Indonesia lahir pada akhir tahun 1928, yaitu melalui Sumpah Pemuda. Namun, pengembangannya begitu pesat. Hingga tahun 1988 berarti enam puluh tahun bahasa Indonesia sudah memiliki lebih dari 60.000 kata.

Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap kosakata dari berbagai bahasa, baik bahasa daerah maupun bahasa asing. Banyak kosa kata bahasa daerah terutama Jawa dan Sunda masuk ke dalam bahasa Indonesia. Demikian pula bahasa asing banyak yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, pada awalnya adalah bahasa Arab, lalu bahasa Belanda, dan kini bahasa Inggris.

Perkembangan bahasa Indonesia tidak hanya terbatas pada ragam resmi tetapi juga pada ragam tidak resmi. Bahkan, perkembangan ragam tidak resmi lebih pesat. Namun juga lebih cepat menghilang. Oleh karena itu, bidang makna pun mengalami perkembangan, ada lima penyebab perkembangan makna, yakni:

(1) Peristiwa Kebahasaan

Sebab kata, misalnya tangan memiliki makna berbeda karena konteks kalimat berbeda.

Contoh: Eka pulang dengan tangan hampa.

Sugeng memiliki banyak tangan kanan.

Tangan Linda sakit karena jatuh

(2) Perubahan Waktu

Kata                       : bapak  

Makna dahulu      : orang tua laki-laki, ayah

Makna sekarang  : sebutan terhadap semua orang laki-laki yang umurnya lebih tua atau kedudukannya lebih tinggi

(3) Perbedaan Bahasa Daerah

Contoh perbedaan bahasa daerah dapat ditemukan pada kata atos dalam bahasa Sunda berarti “sudah”, sedangkan dalam bahasa Jawa berarti “keras”, kata bujur dalam bahasa Sunda berarti “pantat”, sedangkan dalam bahasa Batak berarti “terima kasih”, dan dalam bahasa Banjar berarti “betul”.

(4) Perbedaan Bidang Khusus

Contoh perbedaan bidang khusus dapat ditemukan dalam bidang kedokteran kata koma berarti “sekarat” sedangkan dalam bidang bahasa berarti “salah satu tanda baca untuk jeda”. Kata operasi dalam bidang kedokteran berarti “bedah”, dalam bidang kemiliteran berarti “tindakan”, dan dalam bidang pendidikan berarti “pelaksanaan rencana proses belajar mengajar yang telah dikembangkan secara rinci”.

(5) Perubahan Konotasi

Kata penyesuaian berarti “penyamaan”, tetapi agar orang lain tidak terkejut atau marah, kata itu dipakai untuk makna “penaikan”. Misalnya, penaikan harga menjadi penyesuaian harga.

 

Comments

Populer

Cara Kerja Kincir Angin: Pengertian, Manfaat, Kelebihan dan kekurangannya

Pengertian Kincir Angin Kincir angin adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengubah energi angin menjadi energi listrik. Sehingga kincir angin dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik dalam kehidupan sehari-hari. Di Indonesia daerah yang sudah menerapkan pembangkit listrik tenaga angin ialah Nusa Tengara Timur dan Yogyakarta. Cara Kerja Kincir Angin Cara kerja kincir angin ialah dengan memanfaatkan tiupan angin untuk memutar motor hingga bisa diubah menjadi energi listrik. Maka dari itu, alat ini biasanya digunakan di daerah pulau-pulau kecil yang memiliki tiupan angin stabil dan kencang. Pada kincir angin terdapat beberapa bagian yang menjadi komponennya seperti generator dan baling-baling. Kedua komponen tersebut membantu kerja kincir angin agar bisa menghasilkan energi listrik. Di bawah ini rangkain kerja dari kincir angin, antara lain: Kerja kincir angin diawali dengan adanya sumber energi angin yang mengakibatkan turbin atau kincir angin berputar Kemudian putaran dari turbin

Cara Kerja Komputer

Cikal bakal komputer hanyalah sebuah mesin hitung sederhana. Zaman dahulu komputer hanya mesin hitung untuk menghitung tabel angka. Seiring dengan berjalannya waktu, komputer mengalami perkembangan dan telah dilengkapi dengan berbagai fitur canggih yang bermanfaat untuk mempermudah kegiatan manusia. Komputer merupakan alat elektronik yang terdiri dari rangkaian berbagai komponen yang saling terhubung sehingga akan membentuk suatu sistem kerja. Cara kerja komputer tersebut dapat melakukan pekerjaan secara otomatis berdasarkan program yang di perintahkan kepadanya sehingga mampu untuk menghasilkan informasi berdasarkan data dan program yang telah ada. Suatu pengolahan data dengan menggunakan komputer sebagai medianya dikenal dengan istilah Electronic Data Processing (EDP). Pengolahan data merupakan suatu proses dimana sebuah data diproses atau diubah ke dalam bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti, yang berupa sebuah informasi. Agar komputer bisa digunakan untuk mengolah sebuah dat

Financial Crisis Preparedness

Financial Crisis Preparedness Importance Of Financial Crisis Preparedness Financial crisis preparedness is of crucial importance for individuals, businesses, and governments alike. A financial crisis can have far-reaching impacts on the economy, leading to job losses, business closures, and declining financial markets. It is essential to have a well-developed crisis plan in place to help mitigate the effects of a financial crisis and ensure a swift recovery. Such a plan should include measures to manage risks, maintain financial stability, and ensure access to emergency funding. Additionally, it should involve regular stress tests to assess the ability of the financial system to withstand shocks. The benefits of such preparedness are significant and can help to prevent or minimize the negative impacts of a financial crisis on the economy and society as a whole. - The Impact Of Financial Crises On Individuals And Economies Financial crises