Pendahuluan
Mengapa bahasa Indonesia harus dipelajari di semua jurusan
atau program studi di seluruh fakultas di perguruan tinggi, padahal bahasa
Indonesia sudah dipelajari sejak di sekolah dasar bahkan di taman kanak-kanak?
Alasannya, tidak lain karena Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang
Pendidikan Nasional, Pasal 37 Ayat 2 mewajibkan perguruan tinggi
menyelanggarakan mata kuliah bahasa Indonesia. Landasan pemikiran undang-undang
tersebut, pertama adalah satu dari tiga butir Sumpah Pemuda 1928 menyatakan
“kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa
Indonesia; kedua adalah Undang[1]Undang Dasar 1945,
Bab XV, Pasal 36 yang menyatakan bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Hal itu
dapat diartikan bahwa bahasa Indonesia memiliki dua kedudukan penting, yakni
sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara.
Selain adanya kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional dan bahasa negara yang menyebabkan bahasa Indonesia secara formal
harus dipelajari, ada hal lain yang sama petingnya, yaitu (i) mahasiswa sebagai
insan akademis harus mampu dan memiliki rasa bangga, tanggung jawab yang tinggi
dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar secara kontekstual dan
(ii) mahasiswa harus mampu menuangkan ide, gagasan, dan pikirannya secara lisan
dan tertulis dengan menggunakan unsur-unsur kebahasaan dan aturan yang benar.
Kedua kemampuan tersebut merupakan indikator yang menunjukkan adanya sikap
positif mahasiswa terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan sebagai
bahasa negara.
Dalam bab ini, disajikan pembahasan tentang (i) bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional; (ii) bahasa Indonesia sebagai bahasa negara;
(iii) variasi pemakaian bahasa; (iv) perkembangan bahasa; dan (v) sikap dan
kesadaran berbahasa. Setelah mengikuti penyajian pokok bahasan tersebut, mahasiswa
diharapkan dapat,
(1.)
memiliki pengetahuan tentang fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia dengan tepat;
(2.)
memiliki rasa bangga dan tanggung jawab yang tinggi terhadap penggunaan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar sesuai konteks;
(3.) mampu menuangkan
ide, gagasan, dan pikirannya secara lisan dan tertulis dengan menggunakan
unsur-unsur kebahasaan dan aturan yang benar dengan terampil, teliti, dan
cermat
Sejarah Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada
saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam kerapatan
Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2)
berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa
Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah
bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional. Bahasa
Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus
1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945
disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan,
antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu.
Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu
sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan
Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak
abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di
Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684
M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi
berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari
berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman
Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka
tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga
menggunakan bahasa Melayu Kuna. Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai
sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa
Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan
sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun
sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar
Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang
belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya
ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183),
K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun
(Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan
Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di
Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin
jelas dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti
tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun
hasil susastra (abad ke[1]16 dan ke-17),
seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin,
dan Bustanussalatin. Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan
dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah
diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku,
antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak
mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara
serta makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang
dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh
corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa,
terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa
Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi
dan dialek.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi
dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia.
Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa
Melayu. Parapemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara
sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan
untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928). Kebangkitan
nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan
kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam
memodernkan bahasa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17
Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara
konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh
berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Peran Penting Sumpah Pemuda
Tanggal 28 Oktober 2019 diperingati sebagai Hari Sumpah
Pemuda yang ke-91. Ada makna yang mendalam bagi sejarah bangsa ini dalam isi
Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada 28 Oktober 1928 itu, yakni ikrar bertanah
air satu, berbangsa satu, berbahasa satu: Indonesia. Sumpah Pemuda tercetus
dalam Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Namun dua tahun sebelumnya,
seperti diungkap Sudiyo lewat buku Perhimpunan Indonesia sampai dengan Lahirnya
Sumpah Pemuda (1989), telah dilakukan Kongres Pemuda I mulai tanggal 30 April
hingga 2 Mei 1926 di Batavia (Jakarta).
Kongres Pemuda I atau Kerapatan Besar Pemuda dihadiri oleh
perwakilan dari perhimpunan pemuda/pemudi termasuk Jong Java, Jong Sumatranen
Bond, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Studerenden Minahasaers,
Jong Bataks Bond, Pemuda Kaum Theosofi, dan masih banyak lagi. Tujuan Kongres
Pemuda I, seperti dikutip dari buku Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam
Melahirkan Sumpah Pemuda (1996) karya Mardanas Safwan, antara lain mencari
jalan membina perkumpulan pemuda yang tunggal, yaitu dengan membentuk sebuah
badan sentral dengan maksud: Pertama, untuk memajukan persatuan dan kebangsaan
Indonesia, serta yang kedua adalah demi menguatkan hubungan antara sesama
perkumpulan pemuda kebangsaan di tanah air. Namun, Kongres Pemuda I diakhiri
tanpa hasil yang memuaskan bagi semua pihak lantaran masih adanya perbedaan
pandangan. Setelah itu, digelar lagi beberapa pertemuan demi menemukan kesatuan
pemikiran. Maka, disepakati bahwa Kongres Pemuda II akan segera dilaksanakan.
Lahirnya Sumpah Pemuda Kongres Pemuda II dilangsungkan
selama dua hari pada 27 dan 28 Oktober 1928 di Batavia. Hari pertama, kongres
menempati Gedung Katholikee Jongelingen Bond atau Gedung Pemuda Katolik,
sedangkan kongres di hari kedua diadakan di Gedung Oost Java (sekarang di Jalan
Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat). Tujuan Kongres Pemuda II antara lain: (1)
Melahirkan cita cita semua perkumpulan pemuda pemuda Indonesia, (2)
Membicarakan beberapa masalah pergerakan pemuda Indonesia; serta (3) Memperkuat
kesadaran kebangsaan dan memperteguh persatuan Indonesia. Kongres ini diikuti
oleh lebih banyak peserta dari kongres pertama, termasuk Perhimpunan
Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks
Bond, Jong Islamieten Bond, Pemuda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon,
Katholikee Jongelingen Bond, Pemuda Kaum Betawi, Sekar Rukun dan lainnya. Hadir
pula beberapa orang perwakilan dari pemuda peranakan kaumTionghoa di Indonesia
dalam Kongres Pemuda II ini, seperti Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan
Tjio Djien Kwie, namun asal organisasi/perhimpunan mereka belum diketahui.
Gedung yang nantinya menjadi tempat dibacakannya Sumpah
Pemuda merupakan rumah pondokan atau asrama pelajar/mahasiswa milik seorang
keturunan Tionghoa bernama Sie Kok Liong. Gedung yang terletak di Jalan Kramat
Raya 106, Jakarta Pusat, ini kini diabadikan sebagai Museum Sumpah Pemuda.
Adapun susunan panitia Kongres Pemuda II, seperti yang dituliskan Ahmad Syafii
Maarif melalui buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2009)
adalah sebagai berikut:
Ketua : Sugondo Djojopuspito (PPPI)
Wakil Ketua : R.M. Joko Marsaid (Jong Java)
Sekertaris : Muhammad Yamin (Jong
Sumatranen Bond)
Bendahara : Amir Sjarifudin (Jong Bataks Bond)
Pembantu I : Johan Mohammad Cai (Jong
Islamaieten Bond)
Pembantu II : R. Katjasoengkana (Pemuda Indonesia)
Pembantu III : R.C.I. Sendoek (Jong Celebes)
Pembantu IV : Johannes Leimena (Jong Ambon)
Pembantu V : Mohammad Rochjani Su’ud
(Pemuda Kaum Betawi)
Hadir pula Wage Rudolf Supratman yang memainkan lagu
Indonesia Raya di Kongres Pemuda II dengan alunan biolanya. Lagu Indonesia Raya
juga dinyanyikan untuk pertamakalinya dalam kongres ini oleh Dolly Salim yang
tidak lain adalah putri dari Haji Agus Salim.
Setelah melalui prosesi panjang selama 2 hari, maka pada 28
Oktober 1928, para peserta Kongres Pemuda II bersepakat merumuskan tiga janji
yang kemudian disebut sebagai Sumpah Pemuda. Adapun isi Sumpah Pemuda adalah
sebagai berikut: Pertama Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah
darah yang satu, tanah air Indonesia. Kedua Kami putra dan putri Indonesia,
mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ketiga Kami putra dan putri
Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Menurut Azyumardi Azra, seperti dikutip oleh Asvi Warman
Adam dalam buku Menguak Misteri Sejarah (2010), Kongres Pemuda II yang
menghasilkan Sumpah Pemuda merupakan salah satu tonggak sejarah bangsa
Indonesia dalam mengawali kesadaran kebangsaan. Sementara dalam buku Literasi
Politik (2019) yang ditulis Gun Gun Heryanto dan kawan-kawan diungkapkan bahwa
ikrar sebagai satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa merupakan ikrar yang
sangat monumental bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Ikrar ini atau
Sumpah Pemuda yang dibacakan di arena Kongres Pemuda II dan dihadiri oleh kaum
muda lintas suku, agama, dan daerah, nantinya, 17 tahun kemudian, melahirkan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945. Hal penting lain atas
terjadinya Sumpah Pemuda adalah sebagai titik balik kesadaran berbangsa dan
bernegara, ketika seluruh rakyat mengakui satu bahasa Indonesia di tengah
banyaknya bahasa derah di negeri ini.
Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Nasional
Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia
memiliki tiga fungsi:
(1) lambang
kebanggaan nasional,
(2) lambang
identitas nasional,
(3) alat
perhubungan antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya, dan
(4) alat yang
memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial dan
bahasanya masing-masing.
Fungsi pertama mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang
mendasari rasa kebanggaan. Berdasarkan kebanggaan inilah, bahasa Indonesia
harus dipelihara dan dibanggakan. Rasa bangga memakai bahasa Indonesia dalam
berbagai bidang harus selalu dibina dan ditingkatkan.
Fungsi kedua mengindikasikan bahwa bahasa Indonesia,
sebagaimana hanya lambang lain, yaitu Bendera Merah Putih dan Burung Garuda.
Maka harus diakui menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, bahasa Indonesia dapat menunjukkan atau
menghadirkan identitasnya hanya apabila masyarakat bahasa Indonesia membina dan
mengembangkannya sesuai dengan keahlian dalam bidang masing-masing.
Fungsi ketiga memberikan kewenangan untuk berkomunikasi
dengan siapapun memakai bahasa Indonesia apabila komunikator dan komunikan
mengerti. Melalui fungsi ketiga ini, diharapkan dapat memahami berbagai budaya
yang ada di daerah-daerah lain.
Fungsi keempat mengajak untuk bersyukur kepada Tuhan karena
telah memiliki bahasa nasional yang berasal dari salah bahasa yang ada di
Nusantara (bahasa Melayu) sehingga dapat bersatu dalam kebesaran Indonesia.
Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Negara
Bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa negara
memiliki empat fungsi yang saling mengisi dengan ketiga fungsi bahasa nasional.
Keempat fungsi bahasa negara tersebut adalah sebgai berikut:
(1) bahasa
Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan,
(2) bahasa
Indonesia sebagai bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di dalam dunia
kependidikan, (3) bahasa Indonesia sebagai alat perhubungan pada tingkat
nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, dan
(4) bahasa Indonesia sebagai alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Variasi Pemakian Bahasa
Variasi bahasa yang terjadi karena pemakaian bahasa disebut
ragam bahasa. Ragam bahasa dapat dibedakan berdasarkan media pengantarnya dan
berdasarkan situasi pemakaiannya. Berdasarkan media pengantar, ragam bahasa
dapat dibedakan lagi atas dua macam, yaitu ragam lisan dan ragam tulis.
Berdasarkan situasi pemakaiannya, ragam bahasa dapat dibagi lagi atas tiga
macam, yaitu ragam formal, ragam semiformal, dan ragam nonformal.
Dalam praktik pemakaian, para penutur bahasa tentulah dapat
merasakan perbedaan antara ragam lisan dan ragam tulis. Perbedaan tersebut
dapat dirinci sebagai berikut.
(1) Ragam
lisan menghendaki adanya lawan bicara, sedangkan ragam tulis tidak selalu
memerlukan lawan bicara yang siap membaca apa yang dituliskan oleh seseorang.
(2)
Unsur-unsur fungsi gramatikal seperti subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan
di dalam ragam lisan tidak selalu dinyatakan dengan kata-kata. Unsur-unsur itu
sering dinyatakan dengan bantuan intonasi suara, gerak tubuh, dan mimik muka.
Di dalam ragam tulis, fungsi-fungsi gramatikal harus dinyatakan secara
eksplisit agar orang yang membaca suatu tulisan, misalnya dalam surat kabar,
majalah, atau buku dapat memahami maksud penulisnya.
(3) Ragam
lisan terikat pada situasi, kondisi, ruang, dan waktu, sedangkan ragam tulis tidak
terikat pada situasi, kondisi, ruang, dan waktu.
Perbedaan di atas tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa
ragam lisan lebih unggul daripada ragam tulis atau sebaliknya, tetapi hanya
mengingatkan bahwa ada perbedaan mendasar di antara ragam lisan dan ragam
tulis. Kedua ragam tersebut tersebut sebaiknya dikuasi secara berimbang oleh
mereka yang ingin memanfaatkan bahasa sebagai alat komunikasi secara maksimal.
Perkembangan Bahasa
Bahasa Indonesia lahir pada akhir tahun 1928, yaitu melalui
Sumpah Pemuda. Namun, pengembangannya begitu pesat. Hingga tahun 1988 berarti
enam puluh tahun bahasa Indonesia sudah memiliki lebih dari 60.000 kata.
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap kosakata
dari berbagai bahasa, baik bahasa daerah maupun bahasa asing. Banyak kosa kata
bahasa daerah terutama Jawa dan Sunda masuk ke dalam bahasa Indonesia. Demikian
pula bahasa asing banyak yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, pada awalnya
adalah bahasa Arab, lalu bahasa Belanda, dan kini bahasa Inggris.
Perkembangan bahasa Indonesia tidak hanya terbatas pada
ragam resmi tetapi juga pada ragam tidak resmi. Bahkan, perkembangan ragam
tidak resmi lebih pesat. Namun juga lebih cepat menghilang. Oleh karena itu,
bidang makna pun mengalami perkembangan, ada lima penyebab perkembangan makna,
yakni:
(1) Peristiwa
Kebahasaan
Sebab kata,
misalnya tangan memiliki makna berbeda karena konteks kalimat berbeda.
Contoh: Eka
pulang dengan tangan hampa.
Sugeng
memiliki banyak tangan kanan.
Tangan
Linda sakit karena jatuh
(2)
Perubahan Waktu
Kata : bapak
Makna dahulu
: orang tua laki-laki, ayah
Makna sekarang : sebutan terhadap semua orang laki-laki yang
umurnya lebih tua atau kedudukannya lebih tinggi
(3)
Perbedaan Bahasa Daerah
Contoh
perbedaan bahasa daerah dapat ditemukan pada kata atos dalam bahasa
Sunda berarti “sudah”, sedangkan dalam bahasa Jawa berarti “keras”, kata bujur
dalam bahasa Sunda berarti “pantat”, sedangkan dalam bahasa Batak berarti
“terima kasih”, dan dalam bahasa Banjar berarti “betul”.
(4)
Perbedaan Bidang Khusus
Contoh
perbedaan bidang khusus dapat ditemukan dalam bidang kedokteran kata koma
berarti “sekarat” sedangkan dalam bidang bahasa berarti “salah satu tanda baca
untuk jeda”. Kata operasi dalam bidang kedokteran berarti “bedah”, dalam
bidang kemiliteran berarti “tindakan”, dan dalam bidang pendidikan berarti
“pelaksanaan rencana proses belajar mengajar yang telah dikembangkan secara
rinci”.
(5) Perubahan
Konotasi
Kata penyesuaian
berarti “penyamaan”, tetapi agar orang lain tidak terkejut atau marah, kata itu
dipakai untuk makna “penaikan”. Misalnya, penaikan harga menjadi penyesuaian
harga.
Comments
Post a Comment